Dalam seri purwa carita ini, saya akan khusus membahas tentang Konsep
Punakawan. Keadaaan dan kondisi tatanan masyarakat Jawa di akhir abad 15
sedang dalam masa transisi. Saat itu agama Hindu adalah keyakinan yang
utama di dalam masyarakat Jawa. Islam mulai menyebar di beberapa daerah
pesisir pulau Jawa. Terutama di daerah-daerah pelabuhan dimana sering
kali terjadi kontak dagang dengan pedagang asing. Ibaratnya, matahari
sedang meredup, bulan sedang bersiap-siap memancarkan sinar malamnya.
Sementara itu, Majapahit yang perkasa dalam keadaan keruntuhan. Berat
serta mahalnya ongkos perang saudara yang berkepanjangan antara Prabu
Brawijaya penghabisan dan Penguasa Blambangan tampaknya sudah terlalu
menguras segala sumber daya Majapahit. Di samping itu usaha-usaha para
Wali dalam menyiarkan nafas islam di kalangan anggota keluarga Istana
juga mulai menampakkan hasil yang nyata. Tak kurang putera dari selir
Sang Prabu pun mengucapkan kalimat syahadat.
Saat itu Agama Islam bak seorang puteri yang sedang dalam usia kandungan
menjelang melahirkan. Perlu banyak usaha serta upaya yang gigih dan
tatag untuk dapat melahirkan si jabang bayi dengan mulus tanpa
kehilangan sang Ibu dan si Jabang Bayi.
Atas desakan beberapa Wali senior, maka Sang Prabu Brawijaya Penghabisan
mentahbiskan Raden Patah untuk menjalankan pemerintahan selanjutnya.
Yang pada saatnya memindahkan pusat pemerintahan dari bumi Majapahit ke
daerah pesisir Jawa bagian Tengah, yaitu Demak.
Salah satu upaya dalam menyebarluaskan ajaran Islam, Ki Sunan Kalijaga
berkeyakinan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat
Jawa tidak perlu di ganti total. Perlu adanya berbagai kompromi untuk
dapat menarik minat rakyat memahami, mengenal dan meyakini Islam.
Sebagai contoh, pertunjukan wayang. Dalam masyarakat hindu, wayang
adalah suatu sarana pewartaan keyakinan dan usaha penyebarluasan
nilai-nilai serta tata ajaran Hindu. Hampir semua tatanan masyarakat
sangat menyukai pertunjukan wayang.
Guna menarik minat serta mewartakan tentang Islam, maka Ki Sunan
Kalijaga memasukkan konsep Punakawan di setiap pekeliran. Sejatinya,
pekeliran itu adalah Hindu, karena disitulah budaya, pekerti dan susila
Hindu dihadirkan. Ki Sunan Kalijaga melengkapkannya dengan akal, akhlak
dan adab Islam melalui sosok Semar, Petruk, Gareng dan Bagong.
Semar dalam bahasa arab “ simar “, yang berarti paku. Hal ini bertujuan
bahwa Islam diharapkan mampu memaku tajam dan kuat ditanah Nusantara
ini. Tertanam kokoh di hati penganutnya. Tanpa ada keraguan yang
menggayuti.
Petruk diambil dari kata “ fatruk “, atau dijabarkan dalam kalimat “
fatruk kullu man siwallahi “. Artinya meninggalkan segalanya kecuali
Allah. Hanya Dia yang dituju dan diagungkan. Pemasrahan total kepada
Sang Illahi.
Gareng, di bahasa Arabnya adalah “ qariin “ atau “ nala qariin “.
Maknanya adalah mencari dan mendapatkan teman. Mungkin istilah islaminya
adalah “ hablum minnannas “. Hakekatnya semua pemeluk agama islam
adalah saudara seiman. Wajib dijaga tali silaturahmi antar sesama.
Bagong, sebagai anggota terakhir punakawan, berasal dari kata “ bagha “.
Maknanya menolak, menyanggah atau melawan kelaliman atau kedholiman
yang dilakukan oleh manusia yang mengaku beradab, berakhlak mulia tapi
kenyataannya bertolak belakang dengan kenyataan.
Dengan adanya penciptaan tokoh-tokoh punakawan ini, maka pewartaan Islam
di tatanan masyarakat Jawa menjadi lebih mengena dan membumi. Perlahan
tapi pasti berbagai pengenalan akan islam kian menggema. Disamping
disampaikan lewat pekeliran yang memang merupakan sarana hiburan rakyat,
konsep Punakawan di sampaikan dengan karakter tokoh yang menghibur dan
kocak tapi mengena. Sehingga penyebaran agama Islam lebih mudah diterima
dan selanjutnya dicerna oleh rakyat Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar