Jumat, 19 Februari 2016

punakawan

Alkisah Ki Sunan Kalijaga dalam usahanya menyiarkan dan menyebarluaskan agama Islam di masyarakat Jawa membuat beberapa maha karya di antaranya adalah syair Lir ilir, juga konsep punakawan dalam dunia pewayangan.
Dalam seri purwa carita ini, saya akan khusus membahas tentang Konsep Punakawan. Keadaaan dan kondisi tatanan masyarakat Jawa di akhir abad 15 sedang dalam masa transisi. Saat itu agama Hindu adalah keyakinan yang utama di dalam masyarakat Jawa. Islam mulai menyebar di beberapa daerah pesisir pulau Jawa. Terutama di daerah-daerah pelabuhan dimana sering kali terjadi kontak dagang dengan pedagang asing. Ibaratnya, matahari sedang meredup, bulan sedang bersiap-siap memancarkan sinar malamnya.

Sementara itu, Majapahit yang perkasa dalam keadaan keruntuhan. Berat serta mahalnya ongkos perang saudara yang berkepanjangan antara Prabu Brawijaya penghabisan dan Penguasa Blambangan tampaknya sudah terlalu menguras segala sumber daya Majapahit. Di samping itu usaha-usaha para Wali dalam menyiarkan nafas islam di kalangan anggota keluarga Istana juga mulai menampakkan hasil yang nyata. Tak kurang putera dari selir Sang Prabu pun mengucapkan kalimat syahadat.

Saat itu Agama Islam bak seorang puteri yang sedang dalam usia kandungan menjelang melahirkan. Perlu banyak usaha serta upaya yang gigih dan tatag untuk dapat melahirkan si jabang bayi dengan mulus tanpa kehilangan sang Ibu dan si Jabang Bayi.
Atas desakan beberapa Wali senior, maka Sang Prabu Brawijaya Penghabisan mentahbiskan Raden Patah untuk menjalankan pemerintahan selanjutnya. Yang pada saatnya memindahkan pusat pemerintahan dari bumi Majapahit ke daerah pesisir Jawa bagian Tengah, yaitu Demak.
Salah satu upaya dalam menyebarluaskan ajaran Islam, Ki Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Jawa tidak perlu di ganti total. Perlu adanya berbagai kompromi untuk dapat menarik minat rakyat memahami, mengenal dan meyakini Islam.

Sebagai contoh, pertunjukan wayang. Dalam masyarakat hindu, wayang adalah suatu sarana pewartaan keyakinan dan usaha penyebarluasan nilai-nilai serta tata ajaran Hindu. Hampir semua tatanan masyarakat sangat menyukai pertunjukan wayang.

Guna menarik minat serta mewartakan tentang Islam, maka Ki Sunan Kalijaga memasukkan konsep Punakawan di setiap pekeliran. Sejatinya, pekeliran itu adalah Hindu, karena disitulah budaya, pekerti dan susila Hindu dihadirkan. Ki Sunan Kalijaga melengkapkannya dengan akal, akhlak dan adab Islam melalui sosok Semar, Petruk, Gareng dan Bagong.

Semar dalam bahasa arab “ simar “, yang berarti paku. Hal ini bertujuan bahwa Islam diharapkan mampu memaku tajam dan kuat ditanah Nusantara ini. Tertanam kokoh di hati penganutnya. Tanpa ada keraguan yang menggayuti.

Petruk diambil dari kata “ fatruk “, atau dijabarkan dalam kalimat “ fatruk kullu man siwallahi “. Artinya meninggalkan segalanya kecuali Allah. Hanya Dia yang dituju dan diagungkan. Pemasrahan total kepada Sang Illahi.

Gareng, di bahasa Arabnya adalah “ qariin “ atau “ nala qariin “. Maknanya adalah mencari dan mendapatkan teman. Mungkin istilah islaminya adalah “ hablum minnannas “. Hakekatnya semua pemeluk agama islam adalah saudara seiman. Wajib dijaga tali silaturahmi antar sesama.

Bagong, sebagai anggota terakhir punakawan, berasal dari kata “ bagha “. Maknanya menolak, menyanggah atau melawan kelaliman atau kedholiman yang dilakukan oleh manusia yang mengaku beradab, berakhlak mulia tapi kenyataannya bertolak belakang dengan kenyataan.

Dengan adanya penciptaan tokoh-tokoh punakawan ini, maka pewartaan Islam di tatanan masyarakat Jawa menjadi lebih mengena dan membumi. Perlahan tapi pasti berbagai pengenalan akan islam kian menggema. Disamping disampaikan lewat pekeliran yang memang merupakan sarana hiburan rakyat, konsep Punakawan di sampaikan dengan karakter tokoh yang menghibur dan kocak tapi mengena. Sehingga penyebaran agama Islam lebih mudah diterima dan selanjutnya dicerna oleh rakyat Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar